Di suatu hari ada seorang anak diajak bermain oleh Ayahnya sambil berbincang-bincang dipingir sebuah sungai yang airnya sangat jernih dan menyegarkan. Sang Ayah berkata “Lihatlah anakku betapa berharga dan pentingnya air dalam kehidupan ini, kita akan mati tanpa air”
Disaat yang bersamaan, didalam air ada seekor ikan kecil yang mendengarkan percakapan tersebut, dan itu sangat membuat penasaran si ikan. Ikan yang kecil tersebut mendadak gelisah dan ingin tahu apa itu air, yang oleh manusia diangap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan
Ia kemudian berenang dari hilir ke kehulu, dari ujung ke tepian, untuk menanyakan apa itu air kepada semua ikan yang ditemuinya, “Hai !, tahukah kamu apa itu air ?, dimana kita dapat menemukannya ?. Aku mendengar percakapan manusia bahwa katanya kehidupan akan mati jika tanpa air”
Sayangnya dari setiap ikan yang ia sambangi tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya. Ia semakin gelisah. Ia khawatir kehidupan akan segera berakhir karena diantara ikan-ikan yang ia temuipun tidak ada yang tahu apa itu air, sementara air itu sendiri penting untuk kehidupan
Sampai di mata air, ia bertemu dengan ikan yang paling sepuh. Dengan penuh rasa hormat ia bertanya tentang hal yang serupa “Dimana air itu berada ?”. Kemudian, dengan penuh kasih sayang Ikan sepuh menjawab, “Tidak perlu gelisah anakku, air itu telah mengelilingimu sehingga kamupun tidak menyadari kehadirannya. Air tersebut begitu melekat dengan dirimu meskipun selincah apapun kamu bergerak”.
Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah si ikan kecil dan air tersebut ?
Sebagai manusia, seringkali kita seperti ikan kecil tersebut. Begitu panik kita mencari kehidupan dan kebahagiaan kesana kemari. Padahal kehidupan sedang kita arungi dan kebahagiaan sedang melekat dengan diri kita.
Kita sering lupa bahwa senyuman orang lain untuk kita adalah sebuah kebahagiaan. Kita sering menganggap bahwa perhatian orang tua cenderung dianggap sebagai pengekangan kebahagiaan padahal disisi orang lain begitu banyak yang merindukan perhatian dari orang tuanya.
Seringkali kita tertipu oleh kebahagiaan-kebahagiaan semu yang justru semakin melupakan kita akan syukur nikmat atas banyak hal yang Allah berikan. Kita begitu tersiksa oleh persoalan rasa suka terhadap seseorang sampai dengan bodohnya kita menghakimi Allah dengan sebutan “tidak adil”.
Kita tidak lagi mampu menyadari begitu banyak saudara-saudara kita yang harus menahan rindu sepanjang hayat untuk dapat melihat indahnya ciptaan-ciptaan Allah, bahkan untuk melihat bentuk rupa wajahnya sendiri. Bagi kita yang merasakan betapa nikmatnya penglihatan, bukankah itu sebuah kebahagiaan ?, subhanallah… kebahagiaan itu begitu melekat dengan diri kita. Baik kebahagiaan maupun kesulitan, inti keduanya adalah ujian.
(QS Al Araaf 168)
Sahabat…. sepertinya kita tidak akan pernah menemukan makna kebahagiaan yang lebih luas selama kita tidak pernah mensyukuri segala nikmat yang ada pada diri kita. Allah begitu dekat, lebih dekat dari segala nikmat yang begitu melekat dengan diri kita…
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al Qasash ’77)
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim ’7)
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”. (QS An-Nahl 112)
Wallahu’alam
Sharing Itu Indah
0 komentar:
Posting Komentar