Seorang teman mengatakan bahwa setiap apa yang kita katakan dan lakukan harus mempunyai alasan, bahkan diampun harus ada alasannya. Dan mungkin untuk curhat sekaligus menuhin halaman blog ini, saya ingin menyampaikan satu alasan “kenapa saya tidak merokok ?”. Untuk yang keberatan dengan tulisan ini dan mungkin ingin berkata “yah… urus saja diri masing-masing”, sebelumnya saya juga ingin bilang kalau “urus saja diri masing-masing” berarti tulisan ini juga tidak perlu dibaca, abaikan saja.
Disini saya tidak akan mengatakan kalau rokok itu haram, biarlah itu jadi domainnya MUI sebagai lembaga resmi ulama di Indonesia yang setiap keputusan fatwanya (insya Allah saya percaya) selalu berdasar kepada Al Qur’an, Hadist, dan Ijma. Selain karena hal tersebut, sepertinya memang pendapat halal-haram rokok cenderung lebih mengarah kepada perselisihan.
Disini juga saya tidak mengatakan kalau rokok merusak kesehatan, karena tidak saya katakanpun seorang anak TK saja sudah tahu kalau rokok itu merusak kesehatan. Intinya, hampir 99,99 % saya asumsikan bahwa masyarakat Indonesia dan dunia tahu bahwa rokok tidak baik untuk kesehatan.
Dan sepertinya saya juga tidak perlu mengatakan kalau “merokok adalah pemborosan dan perbuatan sia-sia”, karena sudah banyak jutaan orang yang mengatakan hal demikian dan sepertinya tidak memberikan efek apapun bagi para perokok. Selain itu juga saya yakin kalau yang tidak merokok juga tidak menjamin lebih hemat dari yang merokok, contohnya sederhana saja ; begitu mulut terasa pahit, seorang perokok cukup menyalakan satu batang rokok, berbeda dengan non-perokok yang biasanya lari ke jajan yang ongkosnya lebih mahal dari rokok, tapi efeknya memang lain dan itu sudah jadi resiko masing-masing, meskipun memang untuk yang merokok resikonya tidak ditanggung masing-masing.
Keluarga saya hampir semuanya perokok, mulai dari nenek, kakek, uwa (panggilan saudara tua dari orang tua di etnis Sunda), paman, bapak, kakak, adik, dan saudara-saudara dari uwa dan paman lainnya. Yang tidak merokok dikeluarga saya hanya ibu, kakak perempuan, saya, dan dua adik perempuan saya.
Semasa Sekolah Dasar, saya juga sempat berani coba-coba untuk merasakan sesaknya asap rokok, tapi masih untung saat itu hanya sebatas penasaran saja, selebihnya saya tidak tertarik lagi untuk kembali mencoba membenamkan asap tersebut kedalam paru-paru saya. Cukup sampai disitu dan tidak pernah kembali lagi sampai hari ini.
Diusia-usia tersebut sudah santer istilah “kalau merokok nanti saja kalau sudah bisa cari uang sendiri”, sempat teranalogikan dalam pikiran saya “nanti sajalah merokoknya kalau udah gede”.
Kelas 1 SMP, saya tinggal bersama bapak di Tangerang setelah sebelumnya sama ibu di Subang (mungkin Allah memang menghendai bapak dan ibu berpisah). Setelah tinggal bersama bapak, barulah saya merasakan betapa tidak nyamannya hidup disebuah kontrakan tiga petak yang masing-masing hanya berukuran 3 x 3 meter dengan diselimuti asap rokok. Protes sama bapak ?, tentu itu tidak mungkin, karena bagaimanapun ada etika yang harus tetap saya jaga. Jangankan protes, untuk bicara baik-baik saja saya ragu dan segannya minta ampun, padahal saya bisa dibilang akrab banget sama bapak.
Sampai disatu waktu saya cari tahu sebanyak-banyak tentang keburukan rokok, minimal untuk memperkuat mental saya supaya tidak merokok dan harapan besarnya memang mudah-mudahan bisa menemukan ide untuk mengingatkan bapak dengan cara yang terbaik dan sesopan mungkin. Beranjak dari mencari tahu tentang rokok terus bergeser ke bahaya seks bebas yang berujung pada penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Pergeseran pencaritahuan tersebut akhirnya mengarahkan saya pada satu kesimpulan :
“Kalau saya berdekatan, bergandengan atau bertatapan atau bahkan menyaksikan sepasang manusia sedang berhubungan seks dan saling menularkan HIV-AIDS diantara keduanya, saya tidak akan tertular oleh penyakit tersebut. Tetapi, manakala saya seorang perokok, dan ketika sedang santainya saya merokok kemudian ada seorang teman, sahabat, anak atau sipapaun yang dekat dengan saya, maka saya telah menularkan penyakitnya.”
Cukup lama saya renungkan kesimpulan tersebut, saya ragukan kesimpulan tersebut supaya saya mencari kesalahan dari kesimpulan tersebut, tapi semakin lama saya mencari kesalahannya malah semakin banyak saya menemukan kebenarannya. Artinya, saya memang harus yakin kalau kesimpulan tersebut benar adanya. Dan itu semakin menguatkan saya untuk tidak menjadi seorang perokok.
Kesimpulan tersebut ibarat ide segar. Akhirnya saya tulis dengan rapi di satu kertas HVS (kebetulan masa-masa itu saya sedang hobi-hobinya menggambar dan mebuat kaligrafi), kemudian saya tempel di dinding kontrakan yang memang sebelumnya dinding tersebut sudah hampir penuh dengan aneka coretan saya diatas kertas dan kanvas.
Entah bapak membaca itu atau tidak, yang pasti satu hari semenjak tulisan itu ditempel bapak tidak pernah lagi merokok dihadapan saya, tidak hanya itu, menyuruh saya membelikannya rokokpun tidak pernah. Sampai terbersit dalam benak saya “mungkinkan bapak sedang berjuang keras melawan kebiasaan merokoknya ?”. Saya juga sempat tidak enak hati, tapi saya harus melakukan itu, dan alhamdulillah dari segi komunikasi antara saya dan bapak tidak ada perubahan, perubahannya cuma satu, setiap bapak dekat saya diantara jari tengah dan telunjuknya tidak ada lagi batang rokok.
Pada saat saya duduk di bangku SMA, bapak mengajak saya untuk pulang kembali ke kampung, tapi saya enggan dan lebih memilih tinggal disekolah untuk melanjutkan sekolah. Berat memang bagi bapak untuk meninggalkan saya begitu saja, tapi nampaknya ego keras saya tidak bisa bapak patahkan. Tahun 2008 Allah memanggil bapak pulang keharibaan-Nya diusia 63 tahun, usia yang belum begitu tua memang. Satu kejadian sempat meneteskan airmata saya, ketika saya merapihkan pakaian almarhum bapak dilemarinya, saya menemukan tulisan yang saya pasang didinding kontrakan dulu, di bagian bawahnya bapak menambahkan tulisan :
“Kalau kamu sayang sama istrimu, kemudian istrimu juga sayang padamu, apa perasaanmu ?, bahagia ya tentunya. Tapi kalau istrimu yang sangat kau sayangi itu menghancurkan sebungkus rokokmu yang baru saja dibeli hanya karena ia tidak ingin paru-parumu dirusak oleh rokok-rokok tersebut, lalu sepeti apa juga perasaanmu ?, masih merasa bahagiakah ?, kalau kamu marah berarti akal sehatmu tidak berfungsi.”
Selesai baca tulisan tersebut, ibu tiri saya bilang : “semenjak balik kampung bapak wis ora rokok maning”.
Pepatah mengatakan “sosok terdekat yang wajib kita ambil hikmah dan pelajarannya selain diri kita adalah orang tua kita”, mudah-mudahan saya bisa mengambil hikmah dan pelajaran baik dari hal yang baik maupun yang buruk, minimal dari diri sendiri, orang tua, dan keluarga.
Sharing Itu Indah
0 komentar:
Posting Komentar